SEJARAH RINGKAS BALAI PENGAJIAN UMMI
https://yayasan-ummi.blogspot.com/2016/04/sejarah-ringkas-balai-pengajian-ummi.html
BALAI Pengajian
UMMI merupakan balai pengajian yang sangat sederhana, namun punya sejarah
yang sangat panjang. Terletak di Meunasah Mesjid Gampong Aree, Kecamatan
Delima, Kabupaten Pidie, balai pengajian ini dirintis oleh Ummi Nurasyiah binti
Kasim pada tahun 1972 lalu.
Mulanya, Ummi
Nurasyiah bersama suaminya, (almarhum) Tgk Muhammad Nur Usman, mengajarkan
anak-anaknya mengaji Al-Quran secara rutin selepas Magrib dan ba’da Subuh.
Belakangan, beberapa teman anak keluarga ini, ikut serta belajar mengaji
Alquran.
Hingga lama kelamaan
jumlah anak-anak yang mengaji terus meningkat, tidak hanya berasal dari
Meunasah Mesjid, tapi juga dari desa tetangga, seperti Meunasah Raya,
UleeTutue, Meunasah Keureumbok, Meunasah Keutapang, serta dari kemukiman Garot.
Hingga pada sekitar tahun 1980-1990, jumlah anak-anak yang belajar mengaji
mencapai 20-an anak.
Pada sekitar tahun
1999, anak kelima keluarga ini, yakni Tsuwaibatul Aslamiyah (almarhum) yang
merupakan alumni Tarbiyah Bahasa Arab IAIN Ar-Raniry, berinisiatif mengelola
pendidikan ini secara profesional. Lokasi pengajiannya pun dipindah, dari
kediaman pribadi keluarga ini, ke balai pengajian milik Gampong Meunasah
Masjid, yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah mereka.
Sejak itu, waktu
pengajian diubah menjadi siang hari. Jumlah gurunya pun bertambah, dengan
memakai jasa teungku di desa setempat, serta beberapa gadis dan pemuda yang
merupakan alumni dari Balai Pengajian Ummi. Saat inilah balai pengajian ini
mulai resmi memasang papan nama “Balai Pengajian Ummi”, dan mulai mengutip
biaya “alakadar” atau biasa disebut biaya “meinyeuk panyot” dari santri.
Namun demikian, Ummi
Nurasyiah masih masih tetap mengajarkan anak-anak mengaji ba’da Magrib di
rumahnya. Anak-anak yang mengaji di rumah Ummi Nurasyiah ini, kebanyakan bocah
laki-laki yang sulit diatur. Lagi pula, sejak awal berdiri pada tahun 1972,
pengajian di rumah almarhum Tgk Muhammad Nur ini tidak mengutip biaya alias
gratis.
Namun tidak lama
kemudian, Balai Pengajian Ummi yang telah kehilangan penggagasnya, yakni
Tsuwaibatul Aslamiyah (meninggal tahun 2002), akhirnya dikembalikan ke lokasi
semula, yakni kediaman Tgk Muhammad Nur Usman dan Nurasyiah binti Kasim. Selain
itu aktivitas pengajian di balai pengajian Gampong Mesjid Aree hanya bertahan
selama dua tahun. Pengajian ini terpaksa tutup karena kesulitan mendapatkan
dana.
Sementara pengajian
di Balai Pengajian Ummi yang dikelola oleh keluarga Tgk Muhammad Nur Usman,
terus berkembang pesat. Pada tahun 2006
Balai Pengajian Ummi kembali dikelola secara profesional oleh anak ke 2
keluarga ini yaitu Aisyatur Radhiah. Hal ini tidak terlepas dari dukungan moril
dan materil dari anak-anaknya, famili, relasi, serta masyarakat sekitar.
Keikhlasan dan kerja
keras, serta bantuan dan dukungan dari berbagai elemen, menjadi faktor utama
sehingga Balai Pengajian Ummi ini tetap bertahan hingga sekarang. Hingga saat
penelitian ini dibuat, Juli-September 2014, Balai Pengajian Ummi ini belum
pernah menerima bantuan dana dari instansi Pemerintah.
Sumber pendanaannya
berasal dari zakat, infak, dan sedekah, dari anak-anaknya, masyarakat sekitar,
rekan sejawat, serta para donatur tak terikat, dari dalam maupun luar negeri (Malaysia
dan Brunai Darussalam). Selain itu, juga berasal dari iuran bulanan sebesar Rp
10.000 per anak.
Dari data hasil observasi terakhir, pada medio Juli 2014,
jumlah santri sudah mencapai 357 orang[1], dan jumlah teungku (ustaz/ustazah atau guru)
mencapai 26 orang. Setiap teungku ini rata-rata mendapat jerih sekitar
200.000/orang/bulan (menurut jam mengajar).
Setiap bulan,
Balai Pengajian ini memerlukan biaya sebesar Rp 4.000.000 per bulan untuk
honorarium teungku, belum termasuk biaya operasional lainnya, semisal listrik
dan operasional pengurus balai pengajian. Sementara total uang iuran dari
santri setiap bulannya hanya sebesar Rp 2.000.000 hingga 2.500.000 rupiah
perbulan.
Oleh: Lailatussa'ada M Nur, M.Pd